Sistem Perekonomian di Indonesia

Pendahuluan

Untuk dapat mengerti sepenuhnya sifat proses dan pola pembangunan ekonomi di suatu negara serta kemajuan-kemajuan apa yang telah dicapai oleh suatu negara, maka perlu diketahui sejarah ekonomi dari negara itu sendiri. Mengetahui sejarah dari suatu negara dapat menjadi pemahaman kita untuk memahami pengalaman suatu negara tersebut dalam membangun ekonominya karena pengalaman dan sejarah suatu negara berbeda dengan negara lainnya.

Pengalaman yang berbeda dalam pembangunan ekonomi di dalam kelompok negara berkembang, seperti Indonesia dan Suriname yang dua-duanya negara jajahan Belanda, berbeda dengan Singapura, Malaysia, India, dan Hong Kong yang pernah dijajah oleh Inggris dan sekarang lebih maju atau berbeda dengan negara-negara di Afrika yang bekas jajahan Perancis yang hingga saat ini masih sangat terbelakang dan miskin, sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah masa kolonialisasi juga berpengaruh terhadap pembangunan ekonomi pascakolonialisasi?

Dari pengalaman di Singapura, Malaysia, dan Hong Kong, mungkin dapat dikatakan bahwa yang menjadi penentu keberhasilan pembangunan ekonomi bukan lungsuran dari negara penjajah, melainkan orientasi politik, sistem ekonomi serta kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh rezim pemerintahan yang berkuasa setelah lenyapnya kolonialisasi, terutama pada tahun-tahun pertama setelah merdeka dan menjadi penentu kelanjutan pembangunan selanjutnya.

Pada zaman pemerintahan Orde Lama di Indonesia, rezim yang berkuasa menerapkan sistem ekonomi tertutup dan lebih mengutamakan kekuasaan militer daripada kekuatan ekonomi sehinnga ekonomi nasional pada masa itu mengalami stagnasi atau pembangunan praktis tidak ada.

Oleh karena itu, pada tugas kali ini akan dipaparkan tentang sejarah ekonomi Indonesia pada lima (5) periode, yakni pada zaman pemerintahan Orde Lama, pemerintahan Orde Baru, pemerintahan Transisi, pemerintahan Gus Dur, dan pemerintahan Megawati, serta akan memaparkan tentang sistem ekonomi Indonesia.

SEJARAH EKONOMI INDONESIA

  1. Pemerintahan Orde Lama (1950-1996)

Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Namun, dalam prakteknya belum bisa member perhatian sepenuhnya pada pembangunan ekonomi karena masih belum bebas dari Belanda.

Selama pemerintahan Orde Lama, keadaan perekonomian Indonesia sangat buruk. Misalnya dari APBN, berdasarkan data yang dihimpun oleh Mas’oed (1989), jumlah pendapatan rata-rata pemerintah per tahun selama 1955-1965 sekitar 151juta rupiah, sedangkan besar pengeluaran pemerintah rata-rata per tahun selama periode yang sama 359 juta rupiah atau lebih dari 100% dari rata-rata pendapatannya.

Selain itu, selama periode Orde Lama, kegiatan produksi disektor pertanian dan sector industri manufaktur berada pada tingkat yang sangat rendah karena keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung, baik fisik maupun nonfisik seperti pendanaan dari bank. Akibat rendahnya volume produksi dari sisi suplai dan tingginya permintaan akibat terlalu banyaknya uang beredar di masyarakat mengakibatkan tingginya tingkat inflasi yang sempat mencapai lebih dari 300% menjelang akhir periode Orde Lama.

Pada zaman pemerintahan Orde Lama terdapat tiga periode, yaitu: periode 1945-1950, periode demokrasi parlementer atau disebut juga dengan periode demokrasi liberal (1950-1959, dan periode demokrasi terpimpin (1959-1965). Dalam periode demokrasi parlementer terjadi perubahan cabinet delapan (8) kali.

Kebijakan Ekonomi pada Periode Demokrasi Parlementer

  1. Kabinet Hatta, melakukan kebijakan ekonomi paling penting, yakni reformasi moneter melalui devaluasi mata uang nasional.
  2. Kabinet Natsir, untuk pertama kalinya dirumuskan suatu perancangan pembangunan ekoonomi yang disebut Rancangan Urgensi Ekonomi (RUP). RUP ini digunakan oleh kabinet berikutnya yang merumuskan perencanaan pembangunan lima tahun (pada Orde Baru dikenal dengan Repelita).
  3. Kabinet Sukiman, menasionalisasikan De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia (BI) dan penghapusan sistem kurs berganda.
  4. Kabinet Wilopo, untuk pertama kalinya memperkenalkan konsep anggaran berimbang dalam APBN, memperketat impor, melakukan “rasionalisasi” angkatan bersenjata melalui modernisasi dan pengurangab jumlah personil, dan pengiritan pengeluaran pemerintah.
  5. Kabinet Ali I, hanya ada dua langkah konkret yang dilakukan dalam bidang ekonomi, walaupun kurang berhasil, yakni pembatasan impor dan kebijakan uang ketat.
  6. Kabinet Burhanuddin, melakukan liberalisasi impor, kebijakan uang ketat untuk menekan laju uang beredar, penyempurnaan Program Benteng, mengeluarkan kebijakan yang memperbolehkan modal asing masuk ke Indonesia, pemberian bantuan-bantuan khusus kepada pengusaha-pengusaha pribumi, dan pembatalan (secara sepihak) persetujuan Konferensi Meja Bundar sebagai usaha untuk menghilangkan sistem ekonomi colonial atau menghapuskan dominasi perusahaan-perusahaan Belanda dalam perekonomian Indonesia.
  7. Kabinet Ali II, mencanangkan sebuah rencana pembangunan baru dengan nama Rencana Lima Tahun 1956-1960.
  8. Kabinet Djuanda, kabinet ini melakukan pengambilan (nasionalisasi) perusahaan-perusahaan Belanda. Kabinet ini juga tidak bisa berbuat banyak bagi pembangunan ekonomi karena perhatian sepenuhnya dialihkan untuk manghadapi ketidakstabilan politik dalam negeri dan upaya pengambilan wilayah Irian Barat dari Belanda.

Keadaan ekonomi Indonesia, terutama setelah dilakukan nasionalisasi terhadap semua perusahaan asing Belanda, menjadi lebih buruk dibandingkan keadaan ekonomi semasa penjajahan Belanda.

Indonesia pada saat itu, sangat menentang prinsip-prinsip individualisme, pesaingan bebas, dan adanya perusahaan swasta, karena oleh pemerintah prinsip-prinsip tersebut sering dikaitkan dengan pemikiran kapitalisme. Keadaan ini membuat Indonesia semakin sulit mendapatkan dana dari negara-negara Barat, baik dalam bentuk pinjaman maupun penanaman modal asing (PMA), sedangkan untuk membiayai rekonstruksi ekonomi dan pembangunan selanjutnya, Indonesia sangat membutuhkan dana yang sangat besar.

Pada akhir September 1965, ketidakstabilan polyik di Indonesia mencapai puncaknya dengan terjadinya kudeta yang gagal dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak peristiwa tersebut terjadi suatu perubahan politik yang drastic didalam negeri sehingga mengubah sistem ekonomi pada zaman pemerintahan Orde Lama

1. Pemerintahan Orde Baru

Tepatnya sejak bulan Maret 1966 memasuki pemerintahan Orde Baru. Dalam era Orde Baru, pemerintah lebih ditujukkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan ekonomi dan sosial di tanah air. Pemerintahan Orde Baru menjalin hubungan baik dengan negara-negara Barat dan menjauhi pengaruh ideologi komunis. Indonesia juga kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga dunia lainnya, seperti Bank Dunia dan Dana Moneter International (IMF).

Tujuan jangka panjang dari pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa Orde Baru adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalam skala besar.

Pada bulan April 1969 Repelita I (rencana pembangunan lima tahun pertama) dimulai pada penekanan utama pada pembangunan sektor pertanian dan industry-industri yang terkait, seperti agroindustri.

Dampak dari Repelita I dan repelita-repelita berikutnya terhadap perekonomian di Indonesia cukup megagumkan, terutama dilihat pada tingkat makro. Proses pembangunan bejalan sangat cepat dengan laju pertumbuhan per tahun yang cukup tinggi, jauh lebih baik daripada pemerintahan Orde Lama.

Keberhasilan tersebut tidak saja disebabkan oleh kemampuan kabinet-kabinet yang dipimpin oleh Presiden Soeharto yang lebih solid dibanding pada masa Orde Lama, tetapi juga berkat penghasilan ekspor yang sangat besar dari minyak, terutama pada masa krisis atau oil boom pertama pada tahun 1973/1974. Peranan PMA di Indonesia pada pertengahan dekade 1980-an juga semakin besar.

Akan tetapi, hal-hal positif yang dibicarakan di atas tidak mengatakan bahwa pemerintahan Orde Baru tanpa cacat. Kebijakan-kebijakan ekonomi selama masa Orde Baru memang telah menghasilkan suatu proses transformasi ekonomi yang pesat dan laju pertumbuhan yang tinggi, tetapi dengan biaya ekonomi yang tinggi, serta fundamental ekonomi yang rapuh. Hal terakhir ini dapat dilihat antara lain pada buruknya kondisi sektor perbankan  nasional dan semakin besarnya ketegantunagn Indonesia terhadap modal asing, termasuk pinjaman dan impor. Ini semua akhirnya membuat Indonesia dilanda krisis ekonomi besar yang diawali oleh krisis nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada pertengahan tahun 1997.

2. Pemerintahan Transisi

Pada  tanggal 14 dan 15 Mei 1997, nilai tukar baht Thailand terhadap dolar AS mengalami suatu goncangan hebat akibat para investor asing mengambil keputusan ‘jual’ karena mereka para investor asing tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian negara tersebut, paling tidak untuk jangka pendek. Pemerintan Thailan meminta bantuan IMF. Pengumuman itu mendepresiasikan nilai baht sekitar 15% hingga 20% hingga mencapai nilai terendah, yakni 28,20 baht per dolar AS.

Apa yang terjadi di Thailand akhirnya merebet ke Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya. Rupiah Indonesia mulai merendah sekitar pada bulan Juli 1997, dari Rp 2.500 menjadi Rp 2.950 per dolar AS. Nilai rupiah dalam dolar mulai tertekan terus dan pada tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai rekor terendah, yakni Rp 2.682 per dolar AS sebelum akhirnya ditutup Rp 2.655 per dolar AS. Pada tahun 1998, antara bulan Januaru-Februari sempat menembus Rp 11.000 per dolar AS dan pada bulan Maret nilai rupiah mencapai Rp 10.550 untuk satu dolar AS.

Nilai tukar rupiah terus melemah, pemerintah Orde Baru mengambil beberapa langkah konkret, antaranya menunda proyek-proyek senilai Rp 39 Triliun dalam upaya mengimbangi keterbatasan anggaran belanja. Pada tanggal 8 Oktober 1997, pemerintah Indonesia akhirnya menyatakan secara resmi akan meminta bantuan keuangan dari IMF.

Pada Oktober 1997, lembaga keuangan internasional itu mengumumkan paket bantuan keuangan pada Indonesia yang mencapai 40 miliar dolar AS. Pemerintah juga mengumumkan pencabutan izin usaha 16 bank swasta yang dinilai tidak sehat sehinnga hal itu menjadi awal dari kehancuran perekonomian Indonesia.

Krisis rupiah yang akhirnya menjelma menjadi krisis ekonomi memunculkan suatu krisis politik. Pada awalnya, pemerintahan yang dipimpin Presiden Soeharto akhirnya digantikan oleh wakilnya, yakni B.J. Habibie. Walaupun, Soeharto sudah turun dari jabatannya tetap saja tidak terjadi perubahan-perubahan nyata karena masih adanya korupsi,kolusi dan nepotisme (KKN) sehingga pada masa Presiden Habibie masyarakat menyebutnya pemerintahan transisi.

3. Pemerintahan Reformasi

Pada tanggal 20 Oktober 1999 menjadi akhir pemerintahan transisi, dan awal dari pemerintahan Presiden Gus Dur. Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya (1999), kondisi perekonomian di Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai positif dan pada tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi. Inflasi dan tingkat suku bunga juga mulai rendah.

Tetapi, selama pemerintahan Gus Dur, praktis tidak ada satu pun masalah di dalam negeri yang dapat terselesaikan dengan baik sehinnga ketidakstabilan dalam poltik dan social yang tidak semakin surut selama pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menaikkan tingkat country risk. Hal ini ditambah lagi dengan buruknya hubungan antara pemerintah dengan IMF, membuat pelaku-pelaku bisnis, termasuk investor asingg, menjadi enggan melakukan kegiatan bisnisnya di Indonesia.

4. Pemerintahan Gotong Royong

Setelah Presiden Abdurrahman Wahid turun, Megawati menjadi presiden Indonesia yang kelima. Inflasi yang dihadapi Kabinet Gotong Royong pimpinan Megawati juga sangat berat. Tingkat inflasi pada Juli 2001 sudah mencapai 7,7%. Bahkan laju inflasi tahunan selama periode Juli 2000-Juli 2001 sudah mencapai 13,5%. Perkembangan ini sangat mengkhawatirkan karena selama asumsi APBN 2001 yang sudah direvisi, pemerintah menargetkan inflasi dalam tahun 2001 hanya 9,4%.

Pada tahun 2002 kondisi perekonomian Indonesia sedikit lebih baik daripada tahun 2001, walaupun sempat digoncang dengan adanya bom Bali. Menurut perkiraan IMF pertumbuhan PDB riil Indonesia pada tahun 2003 cukup optimis, yakni 4,5% yang dari perkiraan sebelumnya sebasar 3,5%.

SISTEM PEREKONOMIAN DI INDONESIA

  1. Pengertian-Pengertian Sistem Ekonomi

Sistem ekonomi, menurut Dumairy (1996), adalah suatu sistem yamg mengatur serta menjalin hubungan ekonomi antarmanusia dengan seperangkat kelembagaan dalam suatu tatanan kehidupan. Sedangkan, menurut Sanusi (2000) yang menguraikan pendapat-pendapat dari sejumlah orang didalam maupun di luar negeri yang dapat dirangkum sebagai berikut. Sistem ekonomi merupakan suatu organisasi yang terdiri atas sejumlah lembaga atau pranata yang salimg memengaruhi satu dengan lainnya yang ditujukan kea rah pemecahan problem-problem……produksi-distribusi konsumsi yang merupakan problem dasar setiap perekonomian.

2. Sistem-Sistem Ekonomi

Secara umum ada tiga (3) macam sistem ekonomis yang dikenal didunia, yakni sistem ekonomi liberal/kapitalis, sistem ekonomi sosialis, dan sistem ekonomi campuran.

a. Sistem Ekonomi Kapitalis

Suatu sistem ekonomi dimana kekayaan yang produktif terutama dimiliki secara pribadi dan produksi terutama dilakukan untuk dijual. …Adapun tujuan untuk memperoleh keuntungan/laba yang cukup besar .

b. Sistem Ekonomi Sosialis

Sistem ekonomi sosialis kebalikan dari kapitalis. Bagi kalangan kalangan sosialis, pasar justru harus dikendalikan melalui perencanaan pusat.

c. Sistem Ekonomi Campuran

Sistem  ekonomi campuran adalah sistem yang mengandung beberapa elemen dari sistem ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi sosialis.

3. Sistem Ekonomi Indonesia

Sistem ekonomi yang diterapkan di Indonesia, paling tidak secara konstitutional, perlu terlebih dahulu untuk memahami ideologi apa yang dianut Indonesia. Dalam kata lain, kehidupan perekonomian di Indonesia tidak pernah lepas dari prinsip-prinsip dasar pembentukan Republik Indonesia yang tercantum dalam pancasila dan UUD 1945. Sistem ekonomi Indonesia termasuk sistem ekonomi campuaran itu disesuaikan terutama dengan UUd 1945 sebelum diamandemen tahun 2000 yakni sistem ekonomi Pancasila.

 

 

Sumber : Dr. Tulus T.H. Tambunan, Perekonomian Indonesia, Ghalian Imdonesia

Tinggalkan komentar